Buruh: Jangan Pilih Pemimpin Dari PDIP! Kenapa…?? Ini Alasan Mereka…



Pilkada serentak pertama di Indonesia tinggal sehari lagi dilaksanakan besok (9/12). Tiga hari ini aktivitas kampanye sudah tidak boleh lagi dilakukan karena masuk masa tenang. Di media sosial, urusan pilkada tidak terlalu ramai dibicarakan karena publik lebih tersita pada urusan Setya Novanto dengan kasus “Papa Minta Saham” nya. 

Namun ada juga yang mengaitkan kasus Setya Novanto dengan Pilkada, beredar meme-meme yang menolak Kader Golkar di Pilkada karena terkait dengan Setya Novanto. Namun hal ini diimbangi pula dengan anekdot-anekdot bahwa di ajang Pilkada, PDIP juga banyak berkoalisi dengan Golkar. 




Di kalangan buruh yang masih hangat dengan penolakan PP 78/2015 tentang pengupahan, muncul ajakan-ajakan untuk menolak pemimpin dari PDIP (yang kebetulan menjadi partai utama pendukung Jokowi/presiden yang melahirkan PP pengupahan yang ditentang buruh itu). 

Apakah yang menjadi alasan utama buruh mengajak untuk menolak pemimpin dari PDIP ??
Ternyata ada 2 alasan utama mereka….


Pertama..
Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang ketenagakerjaan


Undang-undang yang dianggap merugikan buruh ini memang lahir pada masa Megawati Soekarno Putri berkuasa sebagai Presiden RI dengan didukung oleh 38% kursi di DPR RI (rekor tertinggi perolehan kursi di DPR RI pada masa orde reformasi hingga saat ini). Kalangan buruh menganggap banyak pasal-pasal dalam undang-undang itu merugikan buruh. 

Diantara yang merugikan adalah disahkannya outsourching atau tenaga kerja lepas (pihak ketiga), berkurangnya besaran THR dan pengetatan peraturan mogok kerja dimana jika Mogok Kerja Tanpa Ijin dianggap tidak sah dan dapat dikenakan PHK Langsung. Selain itu ada juga aturan, jika perusahaan memutus kontrak karyawan sebelum masa kontraknya habis maka perusahaan tidak harus memberikan pesangon. 

Masih banyak lagi kontroversi dengan lahirnya UU No 13 tahun 2013 tentang ketenagakerjaan yang lahir pada masa PDIP berkuasa ini. Yang jelas hingga saat ini undang-undang ini terus berlaku.


Kedua…
Peraturan Pemerintah No 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan


Belum lama berkuasa, Presiden Jokowi yang dianggap lahir dan besar dari rakyat kecil justru dianggap kalangan buruh melakukan kebijakan sebaliknya. Menghadapi masa tripartite atau perundingan pengupahan di dewan pengupahan jelang akhir tahun 2015, Jokowi justru mengeluarkan PP No 78/2015 tentang pengupahan. Dimana dalam PP baru itu, peran dewan pengupahan di tingkat kabupaten/kota yang beranggotakan wakil pemerintah daerah, pengusaha, serikat buruh dan akademisi dikerdilkan karena kenaikan UMK tidak lagi didasarkan pada Komponen Hidup Layak (KHL) tetapi ditentukan terpusat dengan rumus angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi. 

Buruh melakukan segala cara agar peraturan baru itu dicabut dan tidak digunakan oleh pemerintahan Jokowi, Aksi di depan istana yang berakhir dengan kekerasan terhadap buruh dan dijadikannya aktivis buruh Muhammad Rusdi sebagai tersangka, aksi longmarch dan Bandung dan Lampung menuju Jakarta hingga aksi mogok nasional selama empat hari. 


Namun…


Jokowi tak bergeming.. PP 78 tetap jalan. Kabar terakhir menyebutkan gerakan buruh kini mencoba melalui jalur hukum dan meminta DPR membentuk Pansus Upah. 

Bisa jadi, 2 produk hukum dimasa PDIP berkuasa inilah, UU No 13 tahun 2003 dan PP No 78 tahun 2015 yang mendorong buruh untuk menolak calon pemimpin, pusat maupun daerah yang berasal dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) 

Bisa jadi..
Bisa jadi..


0 Response to "Buruh: Jangan Pilih Pemimpin Dari PDIP! Kenapa…?? Ini Alasan Mereka…"

Posting Komentar